Seni Rupa     |     home
Teori Dasar Seni Rupa   |   Tentang Aliran Dada   |   Artikel Senirupa
SENI RUPA DAN MASALAH SOSIAL
Artikel Senirupa
     Situasi ini tercipta karena faktor dalam dunia penciptaan seni rupa, pendidikan dan situasi diluar dunia seni rupa. Penciptaan seni rupa sering tidak disadari sebagai hasil interaksi seniman dengan lingkungannya. Hal ini disebabkan sistem nilai yang ada lebih menitik beratkan pada sektor ekonomi. Sehingga dominasi ekonomi yang semakin global itu telah membawah dampak perubahan sosial pada tatanan nilai kebudayaan.

     Bermunculannya kolektor-kolektor baru merupakan fenomena baru yang tidak selalu berdasarkan cita rasa kesenian yang baik, tetapi lebih menunjukkan kepada beralihnya barang berharga -seperti mobil mewah- sebagai perangkat citra serta pretise orang kaya baru kepada barang-barang kesenian. Belum lagi orang-orang yang memanfaatkan kesempatan pada boom seni lukis sebagai ladang usaha baru, lukisan sebagai investasi uang yang berlebihan.

     Kenyataan lain yang menyebabkan seniman tidak mampu merambah sektor kehidupan lainnya adalah karena tertutupnya sektor politik, sosial dan pendidikan untuk dibicarakan dan dianalisa secara kritis kemudian diangkat kedalam penciptaan karya seni rupa. Tidak adanyakebebasan berbicara bisa kita lihat dari peristiwa-peristiwa ditangkapnya dan dipenjarakannya  aktivis yang mencoba berpikir kritis terhadap situasi saat ini. Sedangkan sektor yang terbuka bagi swasta adalah sektor ekonomi. Dalam sektor yang memang nikmat ini seniman semakin betah, tidak ada resiko ditangkap, bahkan juta demi juta dikeruknya, sementara idealisme mulai luntur.

     Seniman sebagai masyarakat kelas menengah, hendaknya menyadari posisinya sebagai dinamisator perubahan sosial dan kebudayaan. Seniman bukan sekedar resepien yang  mengikuti dan mengakomodasi aturan, tata nilai dan bentuk tingkah laku yang telah mampan dalam budaya nya, tetapi seharusnya lebih menempatkan diri sebagai agen kebudayaan. Dimana seniman sebagai subjek menentukan pilihan budaya serta memberi bentuk budayanya, bukaan sebagai pelengkap penderita yang secara pasif menerima budaya yang ada. (Ignas, "Strategi tentang Kebudayaan" Prisma, Maret 1987)

TRANSFORMASI SOSIAL
     Berbagai teori ilmu sosial, ekonomi, politik budaya maupun kesenian diciptakan dakam rangka perebutan setiap realitas sosial, pertarungan tersebut sesungguhnya tidak relevan berbicara tentang "salah-benar". Karena memang persoalannya adalah "kalah atau menang". Bagi paradigma dan teori yang menang dalam pertarungan tersebut selanjutnya disebut sebagai 'benar'. Itulah mengapa dalam setiap realitas, dua teori selalu memberikan makna berbeda atau bahkan bertolak belakang. Misalnya saja dalam melihat hubungan 'buruh-majikan' satu teori melihatnya sebagai hubungan yang 'saling menguntungkan', namun teori lain justru menganggap sebagai hubungan eksploitasi. 'Rekayasa sosial' dan 'stabilitas' yang oleh satu teori sosial dianggaap sebagai sarat pembangun, oleh teori lain justru disebut sebagai 'penindasan' dan 'pendominasian'. Bahkan sesuatu yang oleh satu teori sosial disebut teroris, oleh teori sosial lainnya disebut pejuang pembebasan dan seterusnya.

     Pertarungan juga terjadi di kalangan seniman. Melalui ekspresi dan karya seni, mereka bertarung untuk memberikan makna terhadap setiap realitas. Suatu realitas sosial yang oleh banyak seniman dikonstruksi menjadi suatu yang indah, memikat demi membangkitkan rasa harmoni, realitas yang sama, justru oleh seniman lainnya didekonstruksi menjadi suatu yang mengerikan untuk membangkitkan rasa kritis dan rasa adil. Dengan begitu karya seni, seperti juga suatu teori, adalah juga suatu upaya untuk memberi makna terhadap realitas sosial. Seorang seniman seperti juga ilmuan, dalam peperangan tersebut selalu memihak antara; status quo dan perubahan; antara pertumbuhan lawan keadilan; antara rekayasa sosial dan partisipasi, antara tirani dan demokrasi dan seterusnya. Aliran kesenian yang menggugah rasa keadilan secara kritis inilah yang disebut sebagai penganut paham kesenian kritik.

     Jurgen Habermas salah satu tokoh kritik dari mazhab Frankfurt pernah menjelaskan tentang paradigma ilmu pengetahuan yang dibaginya dalam tiga aliran, yakni paradigma dominasi, paradigma interpretative dan paradigma emansipatoris. Dengan meminjam analisis tersebut kita bisa memahami paradigma dalam dunia kesenian. Pertama paradigma kesenian dominatif. Seperti dalam ilmu sosial 'regulasi', seni dalam pandangan ini memakai semboyan bahwa kesenian harus mengabdi pada estetika universal, maka harus objektif serta secara politik netral dan bebas nilai. Dalam pandangan ini kesenian diproduksi dan dikontrol oleh budayawan, sedangkan orang awam hanya menjadi objek mereka. Pandangan ini kalau dalam ilmu sosial berhasil memunculkan kaidah rekayasa sosial dimana masyaarakat sebagai objek para ahli, diarahkan menurut selera yang mengontrol. Dunia kesenian dan kebudayaan juga telah menciptakan birokrasinya sendiri, hanya para seniman yang memiliki otoritas kebenaran untuk mengatakan mana yang bisa dikategorikan karya seni atau bukan, karya seni yang bermutu atau tidak. Sekali lagi persoalan karya seni sangat bergantung pada siapa yang merekonstruksinya.

     Paradigma kedua yakni interpretatif (phenomenologis) adalah hanya aliran yang berminat untuk memahami objek dari ilmu pengetahuan sebaik mungkin. Semboyan mereka adalah 'biarkan realitas berbicara tentang diri mereka sendiri', tanpa suatu rekayasa, campur tangan dan tafsiran, adalah suatu ungkapan ketidak puasan. Kritik dari aliran ini terhadap aliran 'positivisme' yang melahirkan kaidah rekayasa sosial tersebut. Dalam kesenian dan kebudayaan umumnya pandangan golongan ini lebih 'konservasi' terhadap budaya dan estetika lokal dari suatu karya seni, dan biarkan karya seni itu mengungkapkan diri mereka sendiri.

     Dalam dunia yang secara struktural tidak adil, dan jika ilmu sosial, kebudayaan maupun kesenian menempatkan diri sebagai tidak memihak, netral dan objektif, adalah bentuk ketidak adilan tersendiri atau paling tidak ikut melanggengkan ketidakadilan. Kritik itulah yang melahirkan  paradigma emansipatoris, yang menolak kedua paradigma di atas dengan menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak pernah netral. Oleh sebab itu sebagaimana ilmu pengetahuan, pendidikan, kesenian adalah subjektif, memihak dan penuh (sarat) nilai yang mengacu pada kepentingan (politik, ekonomi) golongan tertentu. Kesenian dalam paradigma emansipatoris selalu dianggap memihak dan mengabdi. Itulah, maka karya-karya sastra, kesenian yang mengabdi pada estetika universal dan netral belaka, sementara realitas sosial berada dalam sistem dan struktur yang melanggengkan proses 'dehumanisasi' bagi penganut faham emansipatoris, karya seni tersebut tidak saja dianggap tidak bermoral melainkan juga ikut melanggengkan.

     Sudah cukup lama diperdebatkan mengenai apakah hakekat, tugas dan visi karya seni. Apakah karya seni bisa dan harus netral serta tidak memihak, ataukah ekspresi kesenian selalu mengabdi demi kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi tertentu. Namun secara lebih mendalam, karya seni merupakan proses pembangkitan kesadaran kritis terhadap sistem dan struktur yang tidak adil yang dehumanistis. Ekspresi seni harus mengabdi pada proses perubahan dan transformasi, yakni suatu proses yang mendasar terciptanya hubungan (struktur) yang baru dan lebih baik. Dalam perspektif ini seni tidak sekedar harus memihak pada golongan yang didominasi secara kebudayaan belaka. Seni tidak sekedar harus memihak pada golongan yang ditindas hak asasi manusianya saja. Ekspresi seni tidaklah semata diabdikan demi membela mereka yang dimiskinkan dan dimarginalisasikan secara ekonomis belaka. Tugas seniman yang lebih esensial dalam perspektif paradigma emansipatoris adalah menciptakan ruang dan nuansa yang mana akan mampu menumbuhkan kesadaran baik bagi golongan yang menindas dan yang tertindas untuk menyadari bahwa mereka telah berada dalam sistem penindasan. Tugas seniman adalah membangkitkan kesadaran baik bagi yang mendominasi maupun yang didominasi untuk perubahan menuju terciptanya suatu hubungan (struktur) dan sistem sosial yang secara mendasar lebih baik, yakni suatu sistem masyarakat tanpa eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa diskriminasi dan tanpa kekerasan. Tugas seniman, kalau begitu adalah proses memanusiakan kembali manusia yang telah lama mengalami dehumanisasi, baik yang menindas maupun yang ditindas.

     Karena tugas seniman adalah demi proses transformasi dan penyadaran atas sistem dan struktur yang dehumanistik tersebut, maka sesungguhnya apa yang dilakukan oleh seorang seniman kritis memiliki nilai sederajat dengan apa yang dilakukan oleh budayawan atau ilmuwan yang berparadigma sejenis. Jika budayawan melakukan 'penyadaran' melalui esei-esei kritis mereka, atau kaum ilmuwan, terutama ilmuwan sosial melakukan transformasi dengan analisis melalui makalah kritis mereka, atau bahkan ekonom melakukan 'penyadaran' dengan cara menggunakan angka-angka statistik dalam menganalisa ekonomi mereka, maka seniman dalam proses 'penyadaran kritis' hanya menggunakan karya dan ekspresi kesenian mereka. Bahkan bagi kalangan 'status quo' sering melihat ekspresi seni kritis dianggap 'berbahaya' mengganggu 'stabilitas' dibanding karya ekonom dan sosiolog, dimana untuk memahaminya dibutuhkan pengetahuan dasar tentang jargon teoritik akademik mereka yang sangat elitis, karya seni mampu menerobos dimensi penghambat birokrasi kesadaran dan intelektualitas manusia, karena ia bisa langsung beradaptasi dengan hati dan intuisi manusia tanpa harus membaca dan mengkajinya. Oleh karena itu sesungguhnya karya seni lebih efektif sebagai media proses emansipasi dan transformasi.

SENI RUPA YANG BERPIHAK
     Melihat fenomena perkembangan seni rupa yang sarat dengan kritis itu, sudah sewajarnya apabila kita tidak terperangkap pada hal-hal yang primodial saja. Usaha untuk membangun kembali kesadaran yang telah ditumpulkan oleh pendidikan, depolitisasi, pengaruh globalisasi ekonomi yang sangat tidak murah. Namun apabila kita menyadari bahwa pada dasarnya seorang seniman juga seorang manusia, tidak bisa lepas dari kodratnya, yaitu sebagai mahluk sosial. Artinya bahwa kehadiran seorang seniman yang juga seorang manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Segala sesuatu yang dilakukannya berada didalam struktur sosial, semua yang dilakukan terpengaruh olehnya, kita tidak mungkin melakukan diluar struktur tersebut. Kebalikkannya, keberadaan struktur dan institusi memberikan kemungkinan melakukan berbagai kegiatan, baik tindakkan yang sealur ataupun berlawanan. Kodrat ini kemudian menyadarkan kita kepada kodrat kita sebagai bagian dari pencipta perubahan.

     Menyadari keberadaan seniman, situasi sosial dan permasalahan yang dihadapi masyarakat yang sedang membangun ini, sangatlah wajar apabila kemudian muncul sikap keberpihakan. Keberpihakan terhadap masyarakat yang tidak mempunyai posisi tawar yang  seimbang dengan penguasa merupakan bentuk tanggung jawab sosial seniman. Namun keberpihakan macam apa yang akan kita pakai sebagai landasan penciptaan keseniaan kita?.

     Pertanyaan ini penting, karena bentuk berpihakan tidak selalu menawarkan suatu hal yang positif terhadap nasib masyarakat yang tidak diuntungkan dalam pembangunan ini. Apakah masyarakat hanya sebagai objek penciptaan semata. Atau hanya sebagai ungkapan rasa haru, atau romantisme. Atau sebagai pendukung ideologi politik tertentu.

     Kadar keberpihakan bisa dikatagorikan ke dalam 2 kelompok besar dalam penciptaan kesenian, yaitu :

     Pertama; sikap berpihakan tanpa ada keinginan secara kongkrit untuk mengubah keadaan rakyat yang dianggap tidak baik. Sikap ini tumbuh dari pandangan bahwa penciptaan seni lukis merupakan ekspresi yang subjektif si seniman di dalam mengalami kehidupan. Penderitaan rakyat sebagai bagian dari kehidupan yang memperkaya pengalaman batinnya (pengalaman estetika), yang menjadi sumber penciptaan. Dari sikap ini kemudian kerakyatan tampil di dalam karyanya sebagai tema sentral.

     Disini penciptaan adalah tujuan utama dari kegiatan kesenian, sedangkan perubahan bukanlah tujuan penciptaan itu. Kalaupun terjadi perubahan maka itu adalah efek dari penciptaannya.

     Sikap berpihakkan ini dilandasi oleh semangat kerakyatan, Alouis Nugroho mengkategorikan dalam :

1. Populisme karitatif, pada dasarnya tidak menumbuhkan kemampuan manusiawi rakyat untuk mengatasi masalah yang dihadapinya, penyelesaian yang disodorkan hanyalah bersifat permukaan dan berdasarkan rasa kasihan, dengan cara memberikan sedekah dan sebagainya.

2. Populisme manipulatif, populisme yang mengatas namakan rakyat, yang mengklaim diri sebagai 'Penyambung lidah rakyat'. Populisme yang pada awalnya ingin memperjuangkan nasib rakyat, kemudian justru kekuatan rakyat ini dipakai atau dimanipulasi untuk memantapkan, atau melestarikan kekuasaan agar  terpenuhinya kepentingan dari kelompoknya sendiri.

3. Populisme romantis, populisme ini memang tidak menjadikan rakyat sebagai objek untuk mendukung kekuasaan atau ideologi politik, seperti halnya dengan populisme menipulatif atau populisme teknokrasi. Tetapi populisme ini tidak menempatkan rakyat sebagai manusia yang punya peran dan mampu mengubah nasibnya sendiri, tetapi hanya sebagai objek penciptaan kesenian semata-mata.

4. Populisme messianistis dan populisme teknolokratis yang cenderung berperan sebagai gembala atau pengiring dan penyelamat rakyat dengan ajaran agama atau teknologi yang digariskan oleh kelompok manusia yang tidak sepenuhnya mengerti dan menghayati aspirasi serta kebutuhan rakyat.

     Kedua, sikap keberpihakan yang besar disertai keinginan untuk mengubah secara nyata keadaan rakyat yang tidak diuntungkan karena kedudukannya dalam struktur sosial. Sikap ini didasari oleh keperdulian yang besar terhadap perubahan nasib rakyat, dimana penciptaan bukan merupakan media ekspresi dari pengalaman estetik, tetapi juga bertujuan mengubah nasib rakyat. Perubahan diletakan pada posisi yang cukup penting di dalam proses penciptaan itu sendiri.

     Sikap keberpihakan dilandasi semangat populisme dialogis atau emansipatoris, yakni populisme yang menggugah dan membangunkan rakyat dari 'budaya bisu' yang secara historis diakibatkan oleh posisi mereka yang tidak beruntung di dalam struktur sosial dimana mereka hidup. Rakyat merupakan bagian dari proses penciptaan kesenian, kesenian sebagai media ekspresi masyarakatdari rasa tidak berdayaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

     Perubahan dan tumbuhnya persepsi dan kesadaran baru dari kelompok masyarakat tertentu terhadap nasibnya. Sehingga masyarakat lantas menyadari potensi yang dimilikinya, kemudian mereka menciptakan perubahan bagi nasibnya, adalah dampak yang diharapkan dari penciptaan seni rupa yang berpihak ini. Maka perubahan sosial baik dalam kadar yang paling rendah, atau perubahan kebudayaan secara luas merupakan konsekuensi logis dari hadirnya seni rupa ini.

     Semakin tebalnya kadar keberpihakan terhadap nasib rakyat, serta perubahan dan penyadaran semakin menjadi tujuan yang nyata, maka ikuran keberhasilan kesenian semacam ini tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan fungsi sosial seni rupanya baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Dengan ditempatkannya fungsi sosial sebagai salah satu tujuan utama dalam penciptaan seni rupa, maka ukuran keberhasilan tidak bisa begitu saja meninggalkan keberhasilaan fungsi sosial dalam penilaian seni rupa tersebut.

     Artinya keberhasilan suatu karya seni rupa dari segi estetika dan fungsi sosial secara bersama-sama sebagai tatanan baru dalam nilai estetika seni yang berpihak ini, yang sama sekali berbeda dengan nilai estetika lama yang hanya mengacu pada ukuran estetis dalam penciptaan keseniaan.

     Akhirnya perlu kita sadari untuk mengarungi penciptaan seni rupa yang berpihak yang dibutuhkan bukan hanya keberanian untuk mengungkapkan masalah sosial saja, tetapi wawasan sosial seniman perlu diperluas dan keberanian untuk keluar dari nilai-nilai estetika lama yang membelenggu ruang gerak penciptaan seni rupa kita dalam mencari idiom-idiom baru yang lebih berakar pada lingkungan dimana kita hidup.